Kejatuhan Hamba Tuhan (Sharing Pribadi Pdt.Amos Winarto Ph.D)

Satu kota, 3 pendeta senior atau gembala dari gereja-gereja sangat besar. Dan hanya dalam enam bulan, satu semester, tiga kegagalan moral. Itu terjadi di Orlando, Florida.

Isaac Hunter, gembala sidang Summit Church, mengundurkan diri pada bulan Desember 2012 setelah mengakui berhubungan gelap dengan seorang anggota staff gerejanya. Sam Hinn, gembala sidang gereja The Gathering Place Worship Center, turun tahta di bulan Januari 2013 setelah mengakui melakukan hubungan gelap dengan seorang anggota jemaat. Dan beberapa minggu lalu, di bulan Mei ini, David Loveless mengundurkan diri dari gereja Discovery Church setelah juga mengakui memiliki suatu hubungan gelap.

3 gembala sidang gereja-gereja megachurch dalam sebuah kota mengundurkan diri dalam satu semester karena hubungan gelap di luar nikah.

Pertanyaannya sekarang adalah “mengapa banyak hamba Tuhan senior, yang telah bertahun-tahun melayani, dan bahkan memimpin gereja-gereja besar jatuh pada dosa seksual?” Saya katakan banyak bukan karena hanya tiga ini saja melainkan juga masih banyak yang lain di seluruh dunia.

Ketika saya merenungkan, ada tiga alasan yang muncul di benak saya yang adalah juga pendeta sama dengan mereka:

  •  Kehabisan emosional

Banyak pendeta sedang mengalami kehabisan tangki emosi. Kita mungkin berpikir saya seharusnya mengatakan tangki spiritual. Bagi saya, justru tangki emosionallah yang sering membawa kejatuhan bagi kami kaum pendeta.

Pukulan dan luka emosi yang timbul di dalam pelayanan itu sangat banyak: harapan-harapan yang tidak bisa kita penuhi, kerja keras yang kita lakukan, hasil yang nampak secara berkesinambungan dalam pengajaran dan kepemimpinan kita, tuntutan untuk tampil menawan sebagai figur jemaat, tekanan finansial – baik secara pribadi maupun di dalam bergereja – rekan kerja yang meninggalkan kita, surat kaleng ataupun kritikan pedas, tekanan dari jemaat yang ingin mendefinisikan ulang visi, misi atau orientasi gereja, badai harapan dan ekspektasi yang tidak pernah berhenti (pendeta harus begini, pendeta harus begitu) dan rasa miris akibat berbuat salah.

Di atas semua itu, yang membuat hati kita seringkali sakit sampai berdarah, yang ironisnya juga sebetulnya yang membuat hati kita rindu untuk melayani, adalah jemaat kita sendiri. Kita, hamba-hamba Tuhan full-time, adalah gembala. Sayangnya seringkali domba-domba kita adalah domba-domba yang morat-marit dan kotor: sukar dikendalikan, suka membantah dan, maaf, seringkali bau (namanya domba itu bau, tida ada yang wangi, jemaat sebagai domba itu bau, yaitu bau dosa). Jemaat dapat membuat hati kita hancur karena dosa, gosip dan pengkhianatan mereka.

Mengapa ini penting? Karena ketika kita terluka batin, dan jika kita tidak menemukan sesuatu yang berkenan di hadapan Allah untuk mengisi tangki emosi atau batin kita, kita akan mencari sesuatu yang tidak berkenan di hadapan Allah untuk mengisinya. Saya yakin bahwa kehabisan emosional adalah sebab banyak pendeta, penginjil bergumul tidak hanya dengan pornografi, melainkan juga melakukan hubungan gelap di luar nikah. Tangki emosi kita kehabisan, dan akibatnya kita menjadi mudah diserang.

  •  Kurangnya pagar-pagar seksualitas

Alasan kedua adalah karena sedikit para pendeta dan penginjil membangun pagar-pagar seksualitas di sekitar hidup mereka untuk perlindungan yang diperlukan.

Sebagai contoh, pagar-pagar di sekitar cara berpikir yang terkait dengan dosa pornografi seperti cara menempatkan dan menggunakan komputer. Demikian juga pagar-pagar yang diperlukan terkait dengan hubungan dengan jemaat seperti: berhati-hati ketika kita menyentuh orang – tidak sembarangan ngelus-ngelus, megang-megang dan memeluk (saya pernah ditegur oleh seorang jemaat yang tidak suka disentuh pundaknya). Berhati-hati ketika kita berinteraksi dengan orang – tidak mengunjungi sendirian seseorang yang berlawanan jenis dengan kita di rumahnya yang juga lagi sedang sendirian. Berhati-hati untuk tidak sering bekerja lembur berdua dengan orang yang berlawanan jenis dengan kita. Semua itu adalah sesuatu yang lazim diketahui namun jarang diperhatikan oleh para pendeta.

Dan ini hasil survey sebesar 5 persen yang menakutkan: bahkan ketika pagar-pagar itu sudah dibangun, masih bisa sering dirasionaliasi ketika seorang pendeta atau penginjil menjadi tertarik dengan seseorang (oh cuma teman, oh lagi sakit makanya dikunjungi, oh untuk pelayanan di gereja). Akibatnya, bagi kita yang merasionaliasi demikian, kita akan memandang rekan-rekan kita yang berlindung di balik pagar-pagar itu sebagai pendeta, penginjil yang lemah dan kita adalah yang kuat. Seringkali hal demikian adalah hal terakhir terjadi sebelum kejatuhan itu tiba.

  •   Muslihat spiritual

Alasan ketiga banyak pendeta penginjil khususnya gereja-gereja besar jatuh dalam hubungan gelap di luar nikah adalah infeksi muslihat spiritual. Mengapa daya tahan spiritual para pendeta penginjil sangat lemah dibandingkan jemaat? Ijinkan saya mengatakan sesuatu yang saya harap tidak mengejutkan setiap kita: pelayanan itu berbahaya spiritual bagi para pendeta penginjil. Pelayanan itu berbahaya secara spiritual bagi para pendeta penginjil. Jika kita tidak memahaminya sekarang, kita akan memahaminya pada suatu hari nanti.

Pertama, karena kita secara terus menerus melakukan hal-hal bersifat rohani maka sangat mudah bagi kita untuk menyamakan hal-hal tersebut dengan sesuatu yang benar-benar rohani. Misalnya, karena kita sering membaca dan mempelajari Alkitab untuk mempersiapkan khotbah, mudah bagi kita untuk menyamakan persiapan khotbah kita dengan pembacaan dan renungan firman Tuhan untuk kesehatan rohani kita sendiri. Itu tidak sama.

Contoh lain, kita berdoa – di kebaktian, di persekutuan, di meja makan – dan mudah bagi kita untuk berpikir bahwa kita sedang menjalani suatu kehidupan pribadi yang penuh dengan doa. Sekali lagi, tidak sama.

Kita mempersiapkan ibadah, latihan, memimpin bahkan setiap minggu harus hadir di tiap kebaktian maka otomatis kita berpikir bahwa kita sungguh-sungguh sudah beribadah. Seringkali yang terjadi adalah tidaklah demikian otomatis.

Ketika kita melayani, mudah untuk menyamakan antara melakukan banyak hal bagi Allah dengan menyediakan waktu bersama Allah, mudah untuk menyamakan antara aktivitas dan intimitas, menyamakan antara melakukan hal-hal rohani dan menjadi rohani.

Alasan lain pelayanan itu berbahaya secara spiritual bagi kita adalah bahwa kita sering dianggap sebagai anggota keempat dari Trinitas atau Allah Tritunggal. Jemaat sering menghargai hamba Tuhannya dianggap lebih rohani. Seringkali anggapan demikian dijadikan oleh kita sebagai suatu pengukur bahwa kita itu benar-benar rohani. Padahal belum tentu, mereka justru tidak tahu kehidupan rohani pribadi kita. Akibatnya, kita menganggap diri kita sendiri sudah rohani. Karena kalau tidak rohani, mengapa jemaat menganggap saya ini orang rohani? Ini menjadi semacam lingkaran setan kalau kita sudah terjebak di dalamnya.

Saya mengemukakan tiga alasan ini karena pengalaman saya sebagai seorang pendeta juga. Secara khususnya, gongnya itu terjadi ketika saya berumur sekitar 25 tahun. Seorang hamba Tuhan yang telah menjadi figur saya mengalami kejatuhan. Saya menjadi kaget. Kalau dia saja bisa jatuh, apalagi saya.

Karena itu dalam hidup saya melayani, saya mulai belajar untuk menyediakan waktu teduh teratur dan menulis jurnal. Mulai mengambil retreat pribadi, minimal sekali dalam setahun selama beberapa hari untuk mencelupkan diri saya dengan pembacaan firman Tuhan, buku-buku renungan, berdoa dan mengalami ketenangan batin untuk mendengar suara Tuhan. Dan beberapa tahun terakhir ini saya bersama dengan salah seorang rekan saling menjadi partner yang saling bertanggung jawab dan saling menguatkan. Intinya: saya rindu menjadi penyembah di depan umum dan secara pribadi, saya ingin menjadi murid Firman Tuhan dalam khotbah dan untuk rohani saya sendiri, saya rindu berdoa bukan hanya untuk pertumbuhan rohani orang lain tetapi juga untuk satu orang, yaitu pertumbuhan rohani diri saya sendiri.

Saya berharap sharing ini didengar sebagai sharing dari lubuk hati terdalam seorang hamba Tuhan yang sangat sedih dan tidak rela melihat rekan-rekan lainnya mengalami kejatuhan. Sharing ini bukanlah untuk menyombongkan diri sendiri melainkan pengakuan bahwa saya juga lemah dan bisa jatuh. Saya di dalam anugerah Tuhan seperti dalam 2 Tawarikh 16:9 “Karena mata TUHAN menjelajah seluruh bumi untuk melimpahkan kekuatan-Nya kepada mereka yang bersungguh hati terhadap Dia” mensharingkan ini supaya saya sendiri bisa bertahan hidup secara rohani. Mungkin para pembaca pun sudah melakukannya. Atau kalau belum, mungkin para pembaca perlu untuk memulainya.

download

Lawang, 21 Mei 2013